Kamis, 13 September 2012

bersiap menjadi istri mujahid...



Siapa pun sepakat bahwa istri adalah tangan kanan suami yang akan menggantikan posisi suami sebagai ayah dan kepala keluarga manakala sesuatu terjadi menimpanya. Oleh karena itu, pernahkah terbayang di benak para Muslimah, di benak para istri, suatu saat kita akan ditinggal suami? Entah karena kematian atau risiko perjuangan.


Di negeri dimana hukum Islam dilecehkan, maka seorang istri harus bersiap untuk menanggung tuduhan diskriminatif atas sebuah perjuangan untuk menegakkan kalimat Allah Subhanahu wa Ta’ala (SWT).

Bila itu terjadi, kita harus menyambut dengan rasa optimis yang tinggi. Sebagaimana para istri sahabat yang bersemangat mempertanyakan bagian apa yang bisa mereka lakukan demi membantu perjuangan di medan perang. Mereka tak mempertanyakan apakah Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam (SAW) menjamin keselamatan suami-suami mereka. Namun, sebaliknya mempertanyakan, hal apa yang bernilai sama dengan para suami yang pergi ke medan perang yang bisa mereka lakukan.

Menjadi perempuan yang menyandang status istri mujahid, setiap Muslimah harus mempersiapkan diri untuk menghadapi kondisi terburuk. Tujuan yang hendak diraih pun bukan hanya kebahagiaan diri sendiri dan keluarga semata. Namun, saat memasuki gerbang pernikahan, setiap Muslimah harus menyadari bahwa keluarga merupakan pijakan untuk mewujudkan cita-cita yang lebih besar, yaitu mewujudkan sebuah tatanan dunia yang tunduk patuh pada perintah Allah SWT saja.


Mari bercermin pada sikap yang ditunjukkan oleh Cut Nyak Dhien ketika anaknya, Cut Gambang, menangis menerima kabar kematian ayahnya, Teuku Umar. Cut Nyak Dhien segera menampar pipi anak perempuannya tersebut lalu memeluknya sambil berkata, “Sebagai perempuan Aceh, kita tidak menumpahkan air mata pada orang yang sudah ‘shaheed’.”

Sikap Cut Nyak Dhien ini mengajarkan pada kita untuk tidak menangis dan tenggelam dalam kesedihan manakala fitnah dan ujian datang menghadang. Apalagi berlarut-larut dalam kerisauan untuk hal-hal yang kecil.

Cut Nyak Dhien merupakan sosok pejuang Muslimah yang tegar melewati aral melintang dalam perjuangannya. Kematian suami pertamanya, Teuku Lamnga tidak membuatnya tutup layar dan menyepi dalam simbahan air mata. Namun, kematian orang tercintanya tersebut malah membakar semangat Cut Nyak untuk mengibarkan bendera perang pada Belanda. Ia menikah dengan Teuku Umar pun semata karena kesamaan misi untuk berjuang dan berperang melawan Belanda.

Manakala Teuku Umar mengambil taktik untuk bekerjasama dengan Belanda dan dimusuhi oleh pejuang-pejuang Aceh, Cut Nyak Dhien tetap setia berada di samping suaminya. Ia memberikan dukungan penuh untuk rencana besar yang disiapkan Teuku Umar. Cut Nyak Dhien adalah pemberi kekuatan moril terbesar untuk suaminya. Tak peduli, semua orang menuduh suaminya sebagai pembelot, pengkhianat, atau “teroris” sekalipun, ia tetap berdiri di samping suaminya. Cut Nyak Dhien malah turut andil mematangkan rencana besar pengambilalihan persenjataan Belanda yang telah dipercayakan kepada Teuku Umar.

Cut Nyak Dhien mengajarkan pada kita untuk tahu persis perjuangan macam apa yang tengah diemban oleh suami-suami tercinta. Cut Nyak Dhien juga mengajarkan keteguhan jiwa ketika membela sosok tercinta yang tengah berjuang mengemban misi al-haq, meski harus melewati badai cibiran, tudingan, dan cemoohan.

Lebih dari itu, ketika ia tahu bahwa perjuangan yang tengah dilalui suaminya adalah untuk menegakkan kalimah Allah SWT, ia mengerahkan segenap keahlian dan tenaga yang dimilikinya.

Muslimah adalah cahaya. Sejatinya, ia bisa menjadi penunjuk jalan untuk membedakan mana jalan yang benar dan yang salah pada suami. Cahaya juga yang akan menerangi ketika setiap persiapan perjuangan dimulai dan menjadi bara semangat saat peperangan berlangsung.

Muhammad Iqbal pernah berkata: “Betapa banyak wanita-wanita desa yang tidak mampu membaca dan menulis, mampu melahirkan mujahid-mujahid agung yang mengukir sejarah di pentas dunia.”

Mandiri, Siapkan Langkah
Tak perlu sedih ketika suatu saat nanti mungkin tudingan miring (misalnya tudingan isri teroris) datang menimpa kita. Yakinlah, bila orang yang kita cintai telah berada di jalan yang benar, maka Allah SWT pasti akan melapangkan kehidupan yang akan kita tempuh dan meringankan beban yang menghimpit perasaan kita.

“Bukankah Kami telah melapangkan untukmu dadamu? Dan Kami telah menghilangkan daripadamu beban yang memberatkan punggungmu? Dan Kami tinggikan bagimu sebutan namamu. Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan.” (Al-Insyirah [94]: 1-6)

Kelapangan dada ini pun bukan datang dengan tiba-tiba. Butuh kesiapan dan kemauan untuk bergerak hingga kemudahan itu dapat segera dijemput. Seorang istri harus memiliki keahlian yang dapat menopang kehidupannya pasca fitnah yang menimpa sehingga ia tak mesti menggantungkan diri dari belas kasihan orang lain. Ia juga harus memiliki jaringan yang luas agar mudah mendapatkan peluang-peluang yang dapat dimanfaatkan untuk memperkuat kemandiriannya.

Jangan menunggu hari esok untuk mulai mengasah kemampuan diri dan memanfaatkan peluang yang menghampiri. Sebab, sebagaimana Allah SWT telah memerintahkan kita untuk bersiap menghadapi hari esok. Pasalnya, kita tak tahu apa yang akan terjadi pada hari esok itu.

“…hendaklah setiap diri memerhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat).” (Al-Hasyr [59]: 18)
Kita tidak hidup di negara yang menjamin keadilan bagi rakyatnya sesuai dengan perintah Allah SWT. Karena itu, kebenaran dan kebohongan bisa ditukar tempat setiap saat. Bersiaplah untuk menjadi sosok-sosok yang mampu berdiri di atas kaki sendiri. Bila juga memiliki kekuatan untuk menyuarakan kebenaran atas suatu fitnah yang terjadi, gunakanlah dari sekarang. Layaknya Asma binti Yazid yang selalu menjadi juru bicara kaum perempuan di jaman Rasulullah SAW.
Perempuan bukan kaum yang pasrah menerima nasib begitu saja. Begitu fitnah dan badai ujian menghantam, maka perempuanlah gerbang pertahanan terkokoh yang akan melindungi anak-anak yang suatu hari kelak akan menggantikan menyuarakan kebenaran.

Oleh karena itu, dari sekarang mulailah untuk senantiasa meyakini bahwa kebenaran itu milik Allah SWT saja. Perjalanan hidup yang dilakukan semata untuk mewujudkan kehendak-Nya.
Genggam erat-erat dan gaungkan dalam hati bahwa: Allahu Akbar

http://majalah.hidayatullah.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar